Bismillahirrohmanirrohim
(dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
1. Pengertian Riya’
(dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
1. Pengertian Riya’
Riya' adalah salah satu sifat tercela yang harus di hindari |
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasa si penerima), seperti
orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu
licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari
apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 264)
Diriwayatkan dalam salah
satu hadits bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya yang
paling ku takuti atas kamu adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “apa syirik
kecil itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “itulah riya. Di hari kiamat nanti
Allah akan berkata kepada mereka: “Pergilah kamu kepada orang-orang yang
menyebabkan kamu bermal ingin dipujinya. Mintalah balasan padanya.”” (H.R. Ahmad
no. 22528)
Adapun menurut istilah Riya’ adalah melakukan
sesuatu karena ingin dilihat atau ingin dipuji orang lain.
2. Meluruskan Pamrih
Tidak
seorangpun dari manusia yang berhak menganggap dirinya bebas dari rasa pamrih.
Merurut para ahli jiwa mempunyai cara yang cukup handal untuk mengorek isi hati
orang sehingga diketahui apakah orang itu mempunyai rasa pemrih dalam berbagai
tindakanya atau tidak. Sebab, seringkali sesungguhnya keinginan untuk dilihat
atau didengar orang itulah yang menjadi pendorong kita untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kita sebenarnya belum tentu
bertindak demi nilai lain yang ada di luar tindakan kita sendiri. Karena itulah
kepamrihan menjadi lawan keikhlasan.
Jika
pamrih kita ialah keinginan untuk “dilihat” orang, dalam istilah keagamaan
ialah riya’. Dan jika untuk “didengar” orang, misalnya agar nama menjadi
terkenal, dalam istilahnya adalah sum’ah. Baik riya’ atau sum’ah, kedua-duanya
adalah sama yaitu dari jenis kemunafikan. Karena keduanya mengandung semangat
bahwa kita berbuat tidak untuk tujuan sesungguhnya seperti kita katakan atau
kesankan pada orang lain, melainkan untuk tujuan lain yang kita sembunyikan,
yang nilai tujuan itu tidaklah terlalu mulia, jadi kita tidak tulus dalam amal
perbuatan yang kita lakukan.
Oleh
karena itu, dalam Al-Qur’an diisyaratkan bahwa, keinginan seseorang untuk
mendapatkan pujian orang lain atas sesuatu yang sebenarnya tidak dia kerjakan
adalah suatu bentuk sikap menolak kebenaran. Sedangkan sikap menolak kebenaran,
merupakan bagian dari kekufuran. Bahkan, karena pamrih itu megandung arti
mengalihkan tujuan yang sebenarnya sebuah perbuatan kepada tujuan yang lain,
atau membagi tujuan yang semestinya secara tulus hanya untuk rida Allah dengan
tujuan selain dari pada-Nya, maka pamrih juga mengandung unsur syirik.
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa
orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka
supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”
(Q.S. ali-Imron: 188)
Karena
itu, dalam Rasulullah berpesan dalam sebuah hadits yang terkenal “sesungguhnya
yang paling aku kuatirkan terjadi padamu ialah syirik kecil, yaitu pamrih.”
Hadits ini seolah-olah Rasulullah hendak menegaskan bahwa, mungkin kita tidak
lagi menyembah berhala, karena sudah jelas kepalsuannya yang mudah dikontrol.
Tapi yang sulit ialah bagaimana berteguh hati dalam tujuan perbuatan kita hanya
kepada Allah demi menggapai ridha-Nya. Sebab semua orang kiranya merasakan
betapa mudahnya dan tanpa terasa menyelinap ke dalam lubuk hati kita berkeinginan untuk dilihat, didengar,
dan dipuji orang lain.
Soal seseorang mendapat
pujian dari orang lain, asalkan dengan cara yang wajar dan beralasan, tentulah
masih dibenarkan. Ini dijelaskan dalam firman Allah, “Dan katakan, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu,
begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mu’min,...”” (Q.S. at-Taubah: 105).
Dan sesuatu yang akan “dilihat” itu berdasarkan kerja atau prestasi, yang
memang akan menjadi inti kualitas setiap orang. “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah mereka usahakannya,”
(Q.S. al-Najm: 39). Tetapi yang menjadi persoalan ialah jika kita kehilangan
kesejatian dan ketulusan dalam amal perbuatan kita, karena menyelinap dalam
hati kita berkeinginan mendapat pujian orang lain. Dalam keadaan demikian kita
tidak akan mendapatkan apa-apa dari amal-perbuatan kita. Maka untuk menjadi
tulus dan sejati itu kita harus berjuang terus-menerus (mujahadah) melawan
kecenderungan tak benar dari diri kita sendiri. Sebanding dengan kesungguhan itulah kita ingat kepada
Allah untuk mendapatkan pahala.
3. Riya’ Merusak Amal Perbuatan
Riya’ adalah tak ubahnya
seperti penyakit ganas dapat menghanguskan apa saja yang dihinggapi. Riya’
menjadikan semua amal kebaikan menjadi ringan dan kosong. Bedasarkan pendapat
jumhur ulama sesungguhnya riya’ membatalkan amal perbuatan. Barang siapa yang
riya’ di dalam sholat, puasa, riya’ di dalam berdoa dan riya’ di dalam
melakukan amal kebajikan, maka batal amal perbuatannya. Di samping menyebabkan
batalnya amal perbuatan, riya’ juga termasuk perbuatan dosa besar. Bahkan dalam
Al-Qur’an al-Karim menganggap dosa ini sudah termasuk ke dalam batasan kufur,
firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan Dia
tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilahDia bersih (tidak bertanah), mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah: 264)
Janganlah
seseorang membatalkan amal perbuatan yang sudah dikerjakan, dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima. Jika kita ingin
memberikan jasa, bantuan, maupun shadaqah kepada seseorang maka janganlah kita
menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerimanya. Karena, jika kita
melakukannya maka berarti amal perbuatan tidak mempunyai nilai pahala sama
sekali. Kemudian Al-Qur’an al-Karim mengatakan, seperti orang yang menginfakkan
hartanya di jalan Allah karena riya’ kepada manusia, sehingga dengan begitu
amal perbuatannya menjadi batal. Di samping amal perbuatannya batal Al-Qur’an
al-Karim juga mengatakan, “Dan dia tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian.” Tingkatan dosa dari ibadah yang
terdapat unsur riya’ di dalamnya adalah sama dengan kekafiran.
4. Riya’ Merusak Keimanan
Dalam surat al-Ma’un, diungkapkan, “Tahukah kamu orang yang
mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiadk
menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang
berbuat riya’’, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna.” Orang yang
tidak mempunyai iman yang sesungguhnya itu terbagi kepada empat kelompok:
1.
Orang-orang
yang mampu membantu orang-orang fakir dan miskin, namun mereka tidak
melakukannya. Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan Agama.
2.
Orang-orang
yang mengerjakan sholat, namun mereka tidak menaruh perhatian kepada sholatnya.
Al-Qur’an al-Karim berkata, “orang yang mengerjakan sholat dengan tergesa-gesa,
sehingga ruku dan sujudnya tidak sempurna, maka sholatnya salah, atau
mengerjakan sholat pada akhir waktu, dan tidak mementingkan sholat, maka Mereka
itu digolongkan orang yang mendustakan Agama.”
3.
Orang-orang
yang riya’, yaitu orang-orang berbuat riya’ di dalam amal perbuatan mereka.
Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan agama.
4.
Orang-orang
yang diberi kemampuan oleh Allah untuk membantu orang lain, mampu memberikan
pinjaman kepada tetangganya dan orang lain, namun mereka tidak melakukannya.
Orang-orang yang mampu meminjamkan pakaiannya kepada tetangganya namun tidak
melakukannya. Orang-orang yang mampu memberi pinjaman sesuatu yang dibutuhkan
kepada tetangga dan sahabat-sahabatnya namun tidak melakukannya. Al-Qur’an
al-Karim meyebut Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan agama.
Barometer seorang muslim menjadi muslim bukan dengan
perkataan, atau slogannya, namun seorang muslim akan menjadi muslim adalah
dengan menunjukkan perbuatannya. Jika anda mampu menunaikan kebutuhan kaum
muslim namun anda tidak melakukannya, maka surat al-Ma’un di atas mengatakan
kepada anda dan kepada orang yang seperti anda, bahwa anda adalah termasuk para
pendusta agama dan pantaskah orang sperti anda meraih surga?
Apabila seseorang pergi ke masjid dan mengerjakan sholat di
shaf pertama dengan tujuan supaya orang-orang mengatakan kepadanya, “Betapa
Anda rajin beribadah.” Dengan begitu pada hakikatnya yang menjadi kiblatnya
adalah manusia, bukan Baitullah. Dia sholat untuk manusia, bukan untuk Allah.
Terkadang, seluruh amalnya semata karena manusia, dan sama sekali tidak ada
sedikitpun nama Allah di dalam benaknya. Maka yang demikian itu adalah riya’,
atau terkadang amal perbuatannya karena Allah dan juga karena manusia, maka ini
adalah syirik yang harus diwaspadai oleh setiap mu’min.
5.
Riya’
Bagian dari Syirik
Dalam
beberapa riwayat dinyatakan bahwa, orang yang riya’ dipanggil dengan seruan
“wahai orang musyrik”. Karena sholat yang didirikannya,puasa yang
dikerjakannya, semua itu tidak dilakukannya semata untuk Allah melainkan juga
untuk menusia. Riya’, itu pada hakikatnya adalah syirik. Apa yang dikatakan
oleh para penyembah berhala. Bukankah mereka menyembah Allah dan juga menyembah
berhala-berhala mereka. Mereka mengatakan, “mereka
itu adalah pemberi syafaat kepada kami di hadapan Allah” (Q.S. Yunus: 18).
Adapun jika di dalam hatinya tidak ada nama Allah sama sekali, sungguh itu
suatu musibah yang besar. Al-Qur’an al-Karim menyebut orang yang seperti ini
sebagai orang kafir.
Hal yang perlu diperhatikan dan diwaspadai adalah bahwa riya’ itu samar dan
tersembunyi sehingga walau seseorang telah dirasuki penyakit riya’ namun
dirinya tidak terasa. Sebagai contoh, mungkin saja seorang manusia menunaikan
ibadah sepanjang umurnya dalam keadaan riya’, namun dia tidak menyadarinya
karena yang ia rasakan hanya perasaan bahwa sudah menjadi kodrat manusia bila
ada keinginan mendapat pengakuan dan gelar Haji dan dipanggil Haji. Oleh karena
itu, di dalam beberapa riwayat, riya’ diumpamakan seperti seekor semut hitam
yang berjalan di atas batu yang hitam di malam hari yang gelap gulita. Nah,
riya’ sedemikian samarnya sampai batasan ini.
Salah
satu cara yang digunakan oleh syaitan untuk memperdaya manusia beriman adalah
riya’. Terkadang syaitan mendatangi manusia melalui jalan maksiat,seperti
menggunjing, memfitnah, ghibah, namimah, dan berdusta. Namun, terkadang juga
syaitan mendatangi manusia melalui ibadah, yaitu dengan cara menumbuhkan rasa
ujub di dalam hati seorang hamba, sehingga dengan begitu syaitan menuntunnya ke
jalan neraka.
Imam Ja’far Shadiq
berkata, “Dua orang laki-laki masuk ke dalam masjid, yang satu seorang ahli
ibadah sedangkan yang satunya seorang yang fasik. Kemudian, keduanya keluar
dari masjid. Yang fasik menjadi orang yang lurus, sementara yang ahli ibadah
menjadi orang yang fasik. Itu dikarenakan orang yang ahli ibadah itu masuk
masjid dengan perasaan bangga akan ibadahnya. Sedangkan orang yang fasik masuk
ke masjid dengan perasaan menyesal atas kefaikannya dan dia memohon ampun
kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukannya. Sperti inilah tipu
muslihat syaitan, yang manusia melalui cara agama.” Syaitan sendiri telah
berkata kepada Allah:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
jalan Engkau yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka
dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak
akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Q.S. al-A’raf: 16-17)
Setan berkata, “Ya Allah, sekarang
saya telah menjadi yang termasuk orang-orang yang sesat, maka oleh karena itu
saya akan mendatangi manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebahagiaan.
Saya akan jadikan akhirat dalam pandangan mereka sebagai sesuatu yang semu.
Saya akan datangi mereka melalui jalan dunia dan menyibukkan mereka dengannya.
Saya akan detangi mereka melalui jalan dosa, dan kemudian menjerumuskan mereka ke
dalam neraka Jahanam dengan perantaraan dosa. Sebagaimana juga saya akan
mendatangi mereka melalui jalan ibadah, lalu saya jadikan mereka termasuk
penghuni neraka Jahanam dengan perantara riya’.”
Menjadikan manusia riya’ merupakan
jalan yang sangat disukai oleh syaitan. Oleh kerena itu, kita semua harus
waspada terhadap riya’. Jangan sampai kita termasuk orang yang bermuka dua.
Syaitan lebih suka menjerumuskan manusia ke dalam neraka Jahanam melalui jalan
ibadah. Syaitan lebih suka menjerumuskan manusia ke dalam neraka Jahanam
melalui jalan sholat dibandingkan menjerumuskan melalui jalan tidak sholat.
Jangan anda jadikan manusia sebagai
tujuan anda, karena yang demikian itu adalah dosa besar. Namun jika anda
menjadikan manusia sebagai tujuan anda maka janganlah anda berbelit-belit.
Karena dosa yang anda tanggung akan lebih besar manakala anda menjadikan
manusia sebagai tujuan melalui jalan pura-pura taat dalam beragama. Inilah yang
dikatakan oleh Al-Qur’an al-Karim, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat
riya’ dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna.”
Kecelakaanlah bagi kaum muslim yang
melalaikan sholatnya. Kecelakaanlah bagi orang-orang yang riya’. Kebanyakan
manusia tidak terbebas dari penyakit riya’. Oleh karena itu, tidak ada seorang
pun yang bisa mengklaim dirinya bersih dari riya’. (Roli Abdul Rahman, Menjaga Aqidah dan Akhlak, ha. 105,
2007)
6.
Hikmah
Kisah Riya’
Bahlul,
hidup pada masa Harun ar-Rasyid. Dia seorang manusia yang aneh. Dia pernah
memangku jabatan hakim agung, namun kemudian pura-pura gila untuk lari dari
kewajiban menetapkan putusan. Dia selalu menyuruh manusia kepada yang makruf
dan mencegah manusia dari munkar dengan amal perbutannya.
Pada suatu hari, Bahlul melihat seorang laki-laki sedang membangun masjid, lalu dia menuliskan tulisan “Masjid Bahlul” di atas masjid itu. Ketika pemilik masjid melihat apa yang dilakukannya, pemilik masjid itu berkata, “Kenapa engkau melakukan ini?” Bahlul menjawab, “Jika kamu membangun masjid karena Allah, maka tidak ada bedanya apakah masjid itu ditulis atas namamu atau nama yang lain.” Pemilik masjid itu menjawab, “Aku telah berusah payah membangun masjid ini, lalu kemudian masjid ini ditulis atas nama selainku!” Kemudian pemilik masjid itu menghapus nama Bahlul dan menggantikannya dengan namanya. Melihat itu, Bahlul berkata, “Ini menunjukkan bahwa dia membangun masjid bukan karena Allah.”
Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib, sering pada malam hari pergi ke rumah-rumah orang miskin untuk memberikan sedekah kepada mereka, dengan tidak ada seorang pun yang tahu akan hal itu kecuali setelah kepergian mereka dari alam dunia. Pada malam kedua puluh dari bulan Ramadhan tatkala Ali sedang terbaring di ranjang sebagai akibat sabetan pedang, barulah mereka mengetahui siapa yang selama ini membawakan roti dan kurma kepada orang-orang miskin. (Roli Rahman, Menjaga Aqidah dan Akhlak, ha. 102-107, 2007)
Pada suatu hari, Bahlul melihat seorang laki-laki sedang membangun masjid, lalu dia menuliskan tulisan “Masjid Bahlul” di atas masjid itu. Ketika pemilik masjid melihat apa yang dilakukannya, pemilik masjid itu berkata, “Kenapa engkau melakukan ini?” Bahlul menjawab, “Jika kamu membangun masjid karena Allah, maka tidak ada bedanya apakah masjid itu ditulis atas namamu atau nama yang lain.” Pemilik masjid itu menjawab, “Aku telah berusah payah membangun masjid ini, lalu kemudian masjid ini ditulis atas nama selainku!” Kemudian pemilik masjid itu menghapus nama Bahlul dan menggantikannya dengan namanya. Melihat itu, Bahlul berkata, “Ini menunjukkan bahwa dia membangun masjid bukan karena Allah.”
Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib, sering pada malam hari pergi ke rumah-rumah orang miskin untuk memberikan sedekah kepada mereka, dengan tidak ada seorang pun yang tahu akan hal itu kecuali setelah kepergian mereka dari alam dunia. Pada malam kedua puluh dari bulan Ramadhan tatkala Ali sedang terbaring di ranjang sebagai akibat sabetan pedang, barulah mereka mengetahui siapa yang selama ini membawakan roti dan kurma kepada orang-orang miskin. (Roli Rahman, Menjaga Aqidah dan Akhlak, ha. 102-107, 2007)
0 comments:
Post a Comment