Tuesday, September 30, 2014

Bismillahirrohmanirrohim
(dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

1.      Dzalim Sebagai Kemungkaran
Menurut ajaran Islam, aniaya atau dzalim adalah berasal dari “dzalama-yadzlimu-dzulman” yang artinya aniaya. Pelakunya disebut dzalim dan perbuatannya disebut dzulmun. Ahli muidzah mendefinisikan dzalim yaitu meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dzalim adalah perbuatan dosa yang harus ditinggalkan. Karena tindakan aniaya akan dapat merusak kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Tindakan aniaya digolongkan sebagai perbuatan yang menyesatkan dan menyengsarakan. Karena itu orang-orang musyrik pun, oleh Al-Qur’an dianggap melakukan kedzaliman. Karena sesungguhnya segala perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran akan membawa madzarat bagi diri pelakunya.
Berkaitan dengan istilah dzalim, Ar-Razi memberikan 10 penafsiran sebagai berikut:
a.       Dzalim adalah orang yang lebih banyak kesalahannya.
b.      Dzalim adalah sesuatu yang kulitnya lebih bagus daripada isinya.
c.       Dzalim adalah orang yang bertauhid dengan lidah, tetapi berbeda dengan sepak terjang hidupnya.
d.      Dzalim adalah orang yang berbuat dosa besar.
e.       Dzalim adalah orang yang membaca Al-Qur’An dengan tidak mau memperlajari isinya, apalagi mengamalkannya.
f.       Dzalim adalah orang yang jahil.
g.      Dzalim adalah orang-orang yang masy’amah (berputus asa).
h.      Dzalim adalah orang yang setelah dihisab masuk ke neraka.
i.        Dzalim adalah orang yang tidak mau berhenti berbuat maksiat.
j.        Dzalim adalah orang yang mengambil Al-Qur’an, tetapi tidak mengamalkannya.
Ali bin Abi Thalib r.a., sebagai khalifah keempat dan terakhir dari al khulafa’ al rasyidin mengatakan, “Ketahuilah bahwa kedzaliman itu ada tiga macam, yaitu dzalim terhadap Allah, terhadap diri sendiri, dan sesama manusia.”
1.      Kedzaliman Terhadap Allah (Syirik)
Syirik merupakan pandangan dan kepercayaan yang mengingkari bahwa Tuhan adalah Maha Esa dan Maha Kuasa. Jika tidak Maha Esa, maka berarti ada lebih dari satu Tuhan. Jadi harus ada “Tuhan” selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Lalu konsenkuensinya, berarti Tuhan yang lain tentu berasal dari kalangan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, termasuk sesama manusia. Akibatnya ialah bahwa manusia yang musyrik itu mengangkat dan mengagungkan sesama alam atau sesama manusia lebih dari semestinya.
Kepercayaan itu dalam antropologi budaya, dikenal sebagai sistem mitologi yaitu pandangan yang tidak benar kepada alam sekitar atau manusia (misalnya, raja yang dianggap keturunan dewa, dan lain-lain), pandangan yang tidak sejalan dengan sunnatullah dan taqdir untuk ciptaan-Nya disebut sebagai kedzaliman. Karena syirik mempunyai makna menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya dan berdampak merendahkan harkat dan martabat manusia. Pada hal manusia adalah puncak dari ciptaan Tuhan.
Apabila orang memandang bahwa Tuhan tidak Kuasa, sehingga Tuhan memerlukan “pembantu-pembantu” yang harus disembah dan yang akan menolong mendekat kepada-Nya, maka hal ini merupakan kedzaliman. Sebab praktek penyembahan yang tidak pada tempatnya, membuat orang secara apriori menempatkannya di bawah alam atau sesama manusia. Karena itu perilaku syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Firman Allah:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa: 48)

sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. an-Nisa: 116)
2.      Kedzaliman Terhadap Diri Sendiri
Sebagian besar manusia memiliki kebiasaan untuk melakukan perbuatan yang dikelompokkan sebagai dosa kecil, baik dengan sengaja atau pun tidak. Padahal sesungguhnya perilaku dosa sekecil apapun merupakan kedzaliman yang harus ditinggalkan. Walaupun dalam kenyataannya manusia memang tidak mungkin bebas sama sekali dari kesalahan. Sebagaimana ungkapan bahasa arab, “Al-insan mahall al-khata wa al-nisyan.” (Manusia adalah tempat alpa dan lupa). Oleh karena itu, kita harus selalu beristighfar dan berdoa agar Allah mengampuni segala perbuatan yang dilakukan akibat lupa atau alpa yang menjadi tabiat manusia.
Sebagai orang yang menyakini kebenaran ajaran agama, sudah barang tentu mau menerima dan menghayati konsep pahala dan dosa. Menurut ajaran Islam, oerbuatan baik yang dilakukan seorang muslim sebagai “medium” untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu ini adalah Tuhan yang Esa.” Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahfi: 110)
            Dzalim yang terampuni dan tidak dituntut ialah kedzaliman atas dirinya yang menyangkut dosa kecil.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’, bersabda:
“Dari Abu Darda’, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, “Kemudian Kitab ini Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Adapun orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan, mereka adalah orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab. Orang yang pertengahan, mereka adalah orang-orang yang (akan masuk surga) dihisap dengan hisap yang ringan. Orang yang mendzalimi diri sendiri, mereka adalah orang-orang yang dihisab dalam lamanya mahsyar. Kemudian, kerugian mereka itu diganti oleh Allah dengan rahmat-Nya.” Maka merekapun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal karena karunia-Nya. Didalamnya kami tiada meresa lelah dan tiada pula merasa lesu.”” (HR. Ahmad no. 20734)
3.      Kedzaliman Terhadap Sesama Manusia
Karena kedzaliman antar sesama manusia akan berdampak pada rusaknya seluruh masyarakat. Maka setiap orang berkewajiban mencageh kedzaliman di masyarakat.
Orang yang dzalim pada umumnya senantiasa bersikap kasar, bermusuhan, dan suka menyakiti perasaan orang lain karena tabiat buruk yang dimilikinya. Seorang yang dzalim, suka mengumbar lidah dengan  bergunjing, namimah, dan menfitnah. Mereka selalu mengabaikan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Senantiasa memutar balikkan fakta sehingga membingungkan masyarakat. Menyampaikan pesan kebathilan, dan mengarahkan untuk mengabaikan nilai-nilai moral. Sebab dengan cara itu orang dzalim mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
Salah satu sifat orang dzalim adalah bahwa ketika dia bergaul dengan orang lain, maka orang lain merasa tidak nyaman bersamanya. Jika dia tidak menyukai suatu hal, maka dia melakukan tindakan menurut caranya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Orang seperti ini tidak memiliki kebaikan dalam dirinya, sehinnga akan membawa kerusakan bagi kehidupan pribadi dan masyarakat dimana dia berada. Tatanan kehidupan menjadi kacau balau, karena orang dzalim selalu mengaburkan tatanan yang benar dan menggantikan dengan tatanan kehidupan yang memuaskan nafsunya.
Setiap manusia harus menyadari bahwa kesempatan hidupnya hanya sekali. Kesempatan yang tidak berulang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kehidupan pribadi dan sosial. Di sinilah perlunya manusia harus meninggalkan kedzaliman terhadap sesamanya. Berusaha mencari kemaslahatan hidup dengan cara memaknai hidupnya dengan amal sholeh. Bukan sebaliknya malah menjadi penggerak dan biang kerok dari kemungkaran yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Rasulullah saw. bersabda bahwa, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.” Maka setiap manusia harus berusaha untuk dapat memberikan pertolongan terhadap sesamanya, menghapus air mata kesedihan dan penderitaan orang lain, menolong orang yang mengalami musibah, menyelamatkan orang yang ditimpa bencana, membantu orang yang tidak punya, menolong orang yang teraniaya, menyadarkan orang dari kekeliruan, mengentaskan kemiskinan, menunjukkan jalan keselamatan bagi yang sesat, mengajari orang yang bodoh dan rendah akhlaknya, menyingkirkan bahaya yang dapat menyengsarakan orang banyak.

0 comments:

Post a Comment