Bismillahirrohmanirrohim
(dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
1.
Dzalim Sebagai
Kemungkaran
Menurut ajaran Islam, aniaya atau dzalim adalah
berasal dari “dzalama-yadzlimu-dzulman”
yang artinya aniaya. Pelakunya disebut dzalim dan perbuatannya disebut dzulmun.
Ahli muidzah mendefinisikan dzalim yaitu meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya. Dzalim adalah perbuatan dosa yang harus ditinggalkan. Karena
tindakan aniaya akan dapat merusak kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Tindakan aniaya digolongkan sebagai perbuatan yang menyesatkan dan
menyengsarakan. Karena itu orang-orang musyrik pun, oleh Al-Qur’an dianggap
melakukan kedzaliman. Karena sesungguhnya segala perbuatan yang bertentangan
dengan kebenaran akan membawa madzarat bagi diri pelakunya.
Berkaitan dengan istilah dzalim, Ar-Razi memberikan
10 penafsiran sebagai berikut:
a.
Dzalim adalah
orang yang lebih banyak kesalahannya.
b.
Dzalim adalah
sesuatu yang kulitnya lebih bagus daripada isinya.
c.
Dzalim adalah
orang yang bertauhid dengan lidah, tetapi berbeda dengan sepak terjang
hidupnya.
d.
Dzalim adalah
orang yang berbuat dosa besar.
e.
Dzalim adalah
orang yang membaca Al-Qur’An dengan tidak mau memperlajari isinya, apalagi
mengamalkannya.
f.
Dzalim adalah
orang yang jahil.
g.
Dzalim adalah
orang-orang yang masy’amah (berputus
asa).
h.
Dzalim adalah
orang yang setelah dihisab masuk ke neraka.
i.
Dzalim adalah
orang yang tidak mau berhenti berbuat maksiat.
j.
Dzalim adalah
orang yang mengambil Al-Qur’an, tetapi tidak mengamalkannya.
Ali bin Abi Thalib r.a., sebagai khalifah keempat
dan terakhir dari al khulafa’ al rasyidin mengatakan, “Ketahuilah bahwa
kedzaliman itu ada tiga macam, yaitu dzalim terhadap Allah, terhadap diri
sendiri, dan sesama manusia.”
1.
Kedzaliman
Terhadap Allah (Syirik)
Syirik merupakan pandangan dan kepercayaan yang
mengingkari bahwa Tuhan adalah Maha Esa dan Maha Kuasa. Jika tidak Maha Esa,
maka berarti ada lebih dari satu Tuhan. Jadi harus ada “Tuhan” selain Allah,
Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Lalu konsenkuensinya, berarti Tuhan yang lain
tentu berasal dari kalangan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, termasuk
sesama manusia. Akibatnya ialah bahwa manusia yang musyrik itu mengangkat dan
mengagungkan sesama alam atau sesama manusia lebih dari semestinya.
Kepercayaan itu dalam antropologi budaya, dikenal
sebagai sistem mitologi yaitu pandangan yang tidak benar kepada alam sekitar
atau manusia (misalnya, raja yang dianggap keturunan dewa, dan lain-lain),
pandangan yang tidak sejalan dengan sunnatullah dan taqdir untuk ciptaan-Nya
disebut sebagai kedzaliman. Karena syirik mempunyai makna menempatkan sesuatu
tidak pada tempatnya dan berdampak merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pada hal manusia adalah puncak dari ciptaan Tuhan.
Apabila
orang memandang bahwa Tuhan tidak Kuasa, sehingga Tuhan memerlukan
“pembantu-pembantu” yang harus disembah dan yang akan menolong mendekat
kepada-Nya, maka hal ini merupakan kedzaliman. Sebab praktek penyembahan yang
tidak pada tempatnya, membuat orang secara apriori menempatkannya di bawah alam
atau sesama manusia. Karena itu perilaku syirik tidak akan diampuni oleh Allah.
Firman Allah:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa: 48)
“sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain
syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”
(QS. an-Nisa: 116)
2.
Kedzaliman
Terhadap Diri Sendiri
Sebagian besar manusia memiliki kebiasaan untuk
melakukan perbuatan yang dikelompokkan sebagai dosa kecil, baik dengan sengaja
atau pun tidak. Padahal sesungguhnya perilaku dosa sekecil apapun merupakan
kedzaliman yang harus ditinggalkan. Walaupun dalam kenyataannya manusia memang
tidak mungkin bebas sama sekali dari kesalahan. Sebagaimana ungkapan bahasa
arab, “Al-insan mahall al-khata wa
al-nisyan.” (Manusia adalah tempat alpa dan lupa). Oleh karena itu, kita
harus selalu beristighfar dan berdoa agar Allah mengampuni segala perbuatan
yang dilakukan akibat lupa atau alpa yang menjadi tabiat manusia.
Sebagai orang yang menyakini kebenaran ajaran agama,
sudah barang tentu mau menerima dan menghayati konsep pahala dan dosa. Menurut
ajaran Islam, oerbuatan baik yang dilakukan seorang muslim sebagai “medium”
untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu
ini adalah Tuhan yang Esa.” Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahfi: 110)
Dzalim yang terampuni dan tidak
dituntut ialah kedzaliman atas dirinya yang menyangkut dosa kecil.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’, bersabda:
“Dari Abu Darda’, dia
berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Allah swt. berfirman,
“Kemudian Kitab ini Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada
yang pertengahan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah. Adapun orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan, mereka adalah
orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab. Orang yang pertengahan, mereka adalah
orang-orang yang (akan masuk surga) dihisap dengan hisap yang ringan. Orang
yang mendzalimi diri sendiri, mereka adalah orang-orang yang dihisab dalam
lamanya mahsyar. Kemudian, kerugian mereka itu diganti oleh Allah dengan
rahmat-Nya.” Maka merekapun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah
menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha
Pengampun, Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal
karena karunia-Nya. Didalamnya kami tiada meresa lelah dan tiada pula merasa
lesu.”” (HR. Ahmad no. 20734)
3.
Kedzaliman
Terhadap Sesama Manusia
Karena kedzaliman antar sesama manusia akan
berdampak pada rusaknya seluruh masyarakat. Maka setiap orang berkewajiban
mencageh kedzaliman di masyarakat.
Orang yang dzalim pada umumnya senantiasa bersikap
kasar, bermusuhan, dan suka menyakiti perasaan orang lain karena tabiat buruk
yang dimilikinya. Seorang yang dzalim, suka mengumbar lidah dengan bergunjing, namimah, dan menfitnah. Mereka
selalu mengabaikan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Senantiasa memutar
balikkan fakta sehingga membingungkan masyarakat. Menyampaikan pesan
kebathilan, dan mengarahkan untuk mengabaikan nilai-nilai moral. Sebab dengan
cara itu orang dzalim mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
Salah satu sifat orang dzalim adalah bahwa ketika
dia bergaul dengan orang lain, maka orang lain merasa tidak nyaman bersamanya.
Jika dia tidak menyukai suatu hal, maka dia melakukan tindakan menurut caranya
sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Orang seperti ini tidak memiliki
kebaikan dalam dirinya, sehinnga akan membawa kerusakan bagi kehidupan pribadi
dan masyarakat dimana dia berada. Tatanan kehidupan menjadi kacau balau, karena
orang dzalim selalu mengaburkan tatanan yang benar dan menggantikan dengan
tatanan kehidupan yang memuaskan nafsunya.
Setiap manusia harus menyadari bahwa kesempatan
hidupnya hanya sekali. Kesempatan yang tidak berulang ini harus dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya bagi kehidupan pribadi dan sosial. Di sinilah perlunya
manusia harus meninggalkan kedzaliman terhadap sesamanya. Berusaha mencari
kemaslahatan hidup dengan cara memaknai hidupnya dengan amal sholeh. Bukan
sebaliknya malah menjadi penggerak dan biang kerok dari kemungkaran yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Rasulullah saw. bersabda bahwa, “sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.” Maka setiap manusia harus berusaha
untuk dapat memberikan pertolongan terhadap sesamanya, menghapus air mata
kesedihan dan penderitaan orang lain, menolong orang yang mengalami musibah,
menyelamatkan orang yang ditimpa bencana, membantu orang yang tidak punya,
menolong orang yang teraniaya, menyadarkan orang dari kekeliruan, mengentaskan
kemiskinan, menunjukkan jalan keselamatan bagi yang sesat, mengajari orang yang
bodoh dan rendah akhlaknya, menyingkirkan bahaya yang dapat menyengsarakan
orang banyak.
0 comments:
Post a Comment